Selasa, Juli 06, 2010

Realita Politik Era SBY

Manuver politik yang dilancarkan oleh partai demokrat sungguh telah melewati batas-batas etika dan kesopanan berpolitik. Masuknya Andi Nurpati dalam jajaran kepengurusan partai sunggu telah melukai demokrasi kita. Seakan-akan demokrat ingin menunjukkan bahwa merekalah yang tengah berkuasa dan bagi partai incumbent sah-sah saja untuk melakukan berbagai manuver. Partai demokrat seakan-akan ingin menampakkan diri sebagai partai yang membawa perubahan dan pembaharuan, namun sesungguhnya apa yang tengah mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan para pendahulunya. Demokrat ingin mencitrakan diri sebagai partai bersih yang berdiri tegak diatas payung hukum dan berjalan sesuai dengan aturan. Inilah yang tidak disukai banyak orang terutama partai saingannya. Rakyat kita tidaklah sebodoh yang SBY kira, namun memang ada kecenderungan di lapisan masyarakat kelas bawah yang takut akan perubahan dan lebih condong untuk mendukung partai yang sedang berkuasa. Hal inilah yang dipergunakan dengan baik oleh partai demokrat. Yang menjadi pertanyaan besar apa jadinya partai demokrat setelah SBY lengser, apakah akan terus berjaya dalam percaturan politik Indonesia atau akan lenyap pelan-pelan seperti partai bulan bintang. Hal inilah yang tampaknya ingin dipersiapkan oleh SBY dengan melakukan manuver yang ingin memberikan kembali hak pilih bagi TNI. Nah disini hendaknya masyarakt awam melihat dengan jelas bagaimana haus kekuasaannya SBY. Selain dengan menempatkan anaknya sebagai wakil sekjend partai sehingga corong kekuasaan tetap berpusat di Cikeas.
Pada Pemilu tahun 2014 akan menjadi pertarungan sengit antara mereka yang munafik dengan mereka yang pura-pura bersih tapi lebih manufik. Akan menjadi pertempuran yang menarik setelah masing-masing partai tidak akan lagi menonjolkan ikon mereka yang dulu. Namun apabila PDIP tetap mengusung Megawati sebagai calon presiden tampaknya justru akan menjadi bumerang bagi mereka, karena masyarakat membutuhkan calon baru yang masih segar dan mempunyai visi ke depan yang jelas dan hal inilah yang tampaknya ingin digarap oleh partai demokrat, yaitu dengan merekrut tokoh-tokoh dari berbagai kalangan tidak saja yang konservatif bahkan yang radikal sekalipun diberi tempat dalam kepengurusan demokrat dibawah Anas Urbaningrum.
Bagi parta Golkar, justru akan terjadi kemerosotan terutama apabila Surya Paloh mendeklarasikan nasional demokrat sebagai partai. Saya ingin lebih menyoroti partai yang saya dukung, yaitu PDIP. PDIP hendaknya tidak lagi menggunakan simbol Soekarno sebagai penarik massa, karena sesungguhnya apabila sayap partai digerakkan secara lebih efektif justru akan menarik massa lebih banyak, terutama dari kalangan muda. Apabila PDIP tetap memajukan Megawati sebagai calon, maka perolehan suara partai akan sama dengan tahun 2009, karena sesunguhnya apa yang didapat PDIP pada tahun 2009 merupakan dukungan dari mereka yang fanatik mendukung partai dan tidak ada tambahan baru. Nah hal inilah yang harus dicermati oleh golongan muda PDIP, seperti Budiman Sujatmiko, Rieke Dyah Pitaloka dll. Hendaknya mereka lebih gencar untuk menggerakkan roda-roda politik partai sehingga dapat mendongkrat suara pada pemilu berikutnya.
Cukup rasanya membahas mengenai pemilu yang masih lama lagi akan dilaksanakan. Kini saya lebih ingin menyoroti kinerja SBY selama ini. Tampaknya SBY hanya tertarik mengurusi politik luar negri yang sesungguhnya kita dianggap hanya sebagai negara pelengkap dalam acara-acara tersebut. Negara kita diundang hanya karena Amerika ingin menunjukkan pada dunia bahwa, Indonesia mendukung kebijakan mereka bahwa negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia mendukung kebijakan mereka. Hal inilah yang tampaknya tidak disadari oleh SBY. Bila memang ingin memikirkan tentang politik luar negri bagi bangsa kita, tidak perlu mengikuti KTT G20 atau apapun namanya, justru dimulai dari yang dekat-dekat saja. Misalnya tentang perjanjian deportasi bagi para buronan yang tinggal di Singapura ataupun Australia. Kita sebenarnya mempunyai kekuatan untuk menekan kedua negara tersebut, mengapa demikian. Karena semua aktivitas ekonomi kedua negara tersebut haruslah melewati negara kita. Tapi apa yang terjadi, SBY justru ikut KTT iklim dan menyetujui pengurangan CO2 sampai 26 persen dimana justru Amerika sebagai negara yang menyumbang polusi paling besar tidak menyetujuinya. Bagaimana mungkin negara kita mengurangi emisi, sedangkan negara kita merupakan negara berkembang yang membutuhkan produksi yang besar tidak seperti negara lain di Eropa yang tinggal menyesuaikan saja.
Kemudian dosa lain dari SBY adalah kurang pedulinya pemerintah terhadap masalah krusial yang ada di masyarakat. Yang kini muncul dipermukaan yaitu mengenai tabung gas. Konversi gas dari minyak tanah merupakan program pemerintah, namun setelah kini ada masalah justru departemen yang bersangkutan saling lempar tanggung jawab. Justru setelah banyak menelan korban, pemerintah memberikan perhatian lebih, namun tetap saja belum cukup, karena solusi yang ditawarkan masih dalam tahap wacana yang pelaksanaannya akan lebih kompleks.
Kemudian mengenai pemberantasan korupusi. Presiden sebagai penguasa tertinggi di negara ini tampaknya masih ragu untuk memberantas semua kebejatan di jajaran pemerintah dan penegak hukum di Indonesia. Kok bisa, ketetapan presiden dimentahkan oleh seorang anggodo yang notabene adalah seorang makelar kasus. Sungguh tidak bisa dipercaya bagaimana SBY masih dapat terbang keluar negri namun keadaan di negara sendiri masih seperti ini.
Mungkin apa yang saya tulis diatas akan anda setujui atau anda tolak, namun itulah realitas politik yang saya lihat selama masa SBY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar