Kamis, November 12, 2009

Pendakian Menuju Puncak Mandalawangi

Gunung Pangrango adalah semacam ikon yang tak akan pernah saya lupakan. Pangrango adalah gunung pertama yang saya daki dan gunung inilah yang pertama kali memberikan saya kepuasan seorang pendaki. Kepuasan yang dipenuhi kelelahan fisik, guratan luka disekujur tubuh dan juga luapan emosi yang tak bisa terbendung setelah mampu mencapai puncak gunung ini. Kalau ada yang bilang kalau naik gunung itu tidak capek, maka orang tersebut entah memang urat penatnya sudah putus atau memang rumahnya ada di gunung. Pangrango menjadi sangat berkesan untuk saya karena pelantikan saya sebagai seorang anggota GMC(Geographical Mounteneering Club) sebuah klub pendaki gunung yang ada di jurusan tempat saya kuliah mengambil tempat di Mandalawangi yang notabene adalah puncak gunung Pangrango. Pelantikan itu harus diselesaikan oleh semua calon anggota yang dibagi menjadi beberapa tim. Tiap tim harus memulai pendakiannya dari jalur yang berbeda-beda. Saya dan tim kebetulan mendapatkan jalur yang dimulai dari Lido, Sukabumi. Jalur Lido ini merupakan jalur terpanjang akan tetapi merupakan jalur yang paling landai dibandingkan jalur lainnya. Kalau anda mempunyai peta pangrango maka jalur yang akan kami lalui itu adalah sepanjang garis horisontal yang ada di blat pangrango tersebut.
Tim kami terdiri dari 5 orang calon anggota dan 2 orang mentor. Dalam tim inilah saya menemukan arti pertemanan pada saat mendaki gunung, dimana kita saling bahu membahu agar pendakian ini dapat berjalan dengan sukses. Pembagian beban yang adil dan juga team work yang baik sehingga tidak terjadi cekcok selama pendakian. Tim kami dipimpin oleh teman karib saya(entah apakah dia sekarang masih merasa seperti itu, karena ada beberapa hal selama perjalanan pertemanan kami yang mungkin bisa merubah presepsinya mengenai pertemanan kami) Maesa dan anggotanya terdiri dari 4 orang, saya sendiri, Edi, Leo(angkatan '93 yang ikut pelantikan dengan angkatan kami) dan seorang gadis pemberani Odet. Karena tim kami mendapat jalur terjauh, Maesa memutuskan agar kami berangkat sehari lebih dulu daripada yang disarankan mentor-mentor senior. Keputusan ini sangat bijaksana selain karena di tim kami ada seorang wanita dan juga Maesa tahu benar kekuatan fisik saya. Perjalanan dimulai dari kampus dan naik kereta menuju Bogor dari stasiun Pondok Cina.
Singkat cerita kami telah sampai di jalur pendakian tanpa melewati hambatan yang berarti. Dalam perjalanan inilah semua kenangan baik suka maupun duka terjadi. Bagaimana ransel Maesa yang penuh seakan-akan sedang mengendong lumba-lumba, ataupun saat kita semua menjerit karena kulit tangan kami tergores duri dari pohon yang kami tebas. Kebun binatang seperti ada di jalur pendakian kami. Memang ada orang yang bilang kalau sedang mendaki gunung agar tidak mengeluarkan kata-kata kotor, ya ini memang ada benarnya karena kita sedang bertamu di daerah orang, namun sesungguhnya yang perlu dihindari pada saat mendaki adalah sifat takabur dan sombong. Ada jalur yang disebut jalan tol edi muri, jalur ini disebut demikian karena pada saat itu edi yang sedang ada didepan untuk membuka jalur. Bahkan odet sampai mendapat luka yang cukup panjang di pipinya karena tergores duri dan kami mengatakan bahwa nama odet cocok dengan dirinya karena melihat pipinya yang tergores cukup panjang. Leo yang notabene senior kamipun tidak lepas dari kesialan, pada saat sedang berada di depang tahu-tahun di terjatuh ke jurang yang tersembunyi oleh semak-semak, bukannya berteriak minta tolong dia malah tertawa-tawa saja. Sungguh perjalanan ini memang sangat berkesan bagi saya. Setelah pendakian ini, saya telah mendaki gunung pangrango ini lagi melalui jalur yang berbeda tapi bagi saya pendakian ini yang paling berkesan, bahkan dibanding gunung lain yang saya daki bersama teman-teman yang lain, perjalanan ini tak akan saya lupakan seumur hidup saya. Sayang memang pada saat itu kami tidak sempat mengabadikan momen perjalanan ini selain karena tidak ada yang bawa kamera juga karena zaman itu belum ada yang punya HP yang ada kameranya(boro-boro HP, pager aja dulu masih sedikit yang punya).
Jalur Lido ini juga merupakan jalur yang paling lengkap menurut saya. Sekitar 70 persen perjalanan kita akan menemui igir-igir yang panjang sehingga kita seakan-akan sednag berjalan di negeri awan, karena awan berada disisi kiri dan kanan kita. Selain itu,karena mungkin masih sedikit orang yang melalui jalur ini maka kamipun harus membuka jalan karena tertutup oleh semak dan pepohonan, jadi bukan merupakan jalur umum yang sering didaki(kalau sekarang mungkin jalur ini sudah lenggang dan kita tidak perlu membawa golok untuk membuka jalur). Di jalur ini juga air hanya ditemukan pada saat di puncak, sehingga manajemen perjalanan haruslah disusun dengan baik karena apabila penggunaan air tidak direncanakan dengan baik maka bisa-bisa kita kehabisan ari sebelum sampai dipuncak dan kebetulan hal ini terjadi denga kami. Ya airnya tidak habis-habis banget, akan tetapi untuk menghemat kami terpaksa meminum air dari lumut yang banyak berada disepanjang jalur(Maesa adalah orang yang paling suka dengan hal ini, entah karena dia memang suka atau terpaksa).
Nah pada saat sampai di puncak itulah saya merasakan kenikmatan yang dirasakan oleh semua pendaki, perasaan yang tidak bisa digambarkan. Setelah melalui perjalan yang berat dan menguras energi akhirnya kita sampai di akhir perjalanan, yaitu Mandalawangi. Mungkin perasaan ini biasa saja bagi sebagian orang terutama bagi mereka yang sudah sering mendaki, namun saya rasa jauh di dalam hatinya mereka tetap akan merasakan hal yang sama, perasaan yang tidak bisa digambarkan ataupun diungkapkan dengan kata-kata.
Setelah perjalanan ini, saya mendaki gunung pangrango dari jalur Cibodas dan juga melalui Tower, namun tetap saja pendakian ini merupakan pendakian terbaik dalam hidup saya, bahkan lebih baik dibanding pada saat saya mendaki gunung Kerinci yang merupakan gunugn tertinggi kedua di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar