Jumat, April 24, 2009

Golkar Bercerai Dengan Demokrat

Setelah beberapa waktu ini tampak gamang dalam menentukan posisi dalam koalisi yang akan dibentuk ke depang setelah pemilu legislatif, Golkar akhirnya mengambil keputusan yang berani dengan keluar dari koalisinya dengan partai demokrat. Hal ini diputuskan setelah melalui proses yang alot antara para pimpinan partai dan tidak adanya kesepahaman dari kedua belah pihak terutama tentang calon dari partai golkar yang akan mendampingi SBY. Demokrat meminta lebih dari satu nama sedangkan bagi golkar hal ini adalah suatu arogansi dari demokrat.
Keputusan ini diperkuat setelah adanya Rapat Pimpinan Khusus dari DPP partai Demokrat yang mendaulat JK sebagai calon presiden dari partai golkar dan memberikan kuasa baginya untuk membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Banyak pihak yang terkejut dengan keputusan yang diambil golkar ini, melihat bahwa kultur dari partai ini yang selalu ada dekat dengan kekuasaan. Melihat suara yang didapat partai golkar dalam pemilu yang hanya kurang lebih 15 persen, menurut saya hal ini adalah suatu blunder dan juga langkah yang putus asa dari partai golkar. Mengapa dikatakan blunder, karena walaupun golkar adalah partai besar akan tetapi mereka harus realistis terutama setelah tumbangnya rezim orde baru. Saya melihat bahwa golkar sekarang ini ada dalam bayang-bayang nama besar yang sebenarnya hanya semu belaka. Memang kalau dilihat dari opsi yang diajukan demokrat agar golkar tidak hanya memberikan satu nama calon saja bakal pendamping SBY, memang tampak demokrat ingin menunjukkan bahwa merekalah yang mengambil keputusan bukan golkar. Melihat hal ini tentu saja harga diri sebagai sebuah partai yang sudah kenyang asam garam politik di Indonesia tentu tidak terima. Beberapa tokoh sentral golkar tampak seperti kebakaran jenggot melihat apa yang dilakukan oleh demokrat, apalagi masih ada anggapan bahw SBY bisa menjadi presiden karena suara golkar bukan karena suara demokrat. Ya, tahun 2004 memang benar itu yang terjadi, namun sekarang ini keadaan sudah berbalik dan harusnya golkar menyadarinya seperti pepatah yang berlaku dalam kancah politik, yaitu tidak ada lawan dan kawan yang abadi. Blunder ini akan berlanjut apabila memang nantinya golkar kalah dalam pilpres dan mengambil sikap sebagai oposisi. Kalau kita tinjau mengapa sebenarnya tampak golkar enggan untuk jauh-jauh dari kekuasaan. Hal ini karena banyak dari kadernya yang sebenarnya terbantu dengan posisi mereka yang dekat dengan kekuasaan itu. Dengan dekatnya mereka dengan kekuasaan sedikitnya apa yang salah yang dulu mereka lakukan pada zama orde baru tidak diganggu gugat atau setidaknya dipetieskan dulu. Hal inilah yang mengakibatkan tidak bulatnya keputusan untuk mencalonkan JK sebagai capres, karena dukungan ini hanya di dapat dari para pimpinan DPP sedangkan rakornas yang akan diadakan DPD tingkat I tampaknya tidak setuju dengan hal ini dan tetap ingin mengusung salah satu kader partai sebagai pendamping SBY. Dari kemelut yang terjadi dalam tubuh golkar ini, ada satu orang yang menurut saya mencoba mengail di air yang keruh. Orang itu ialah Akbar Tanjung. Pada saat yang bersamaan dengan rapat pimpinan yang dipimpin JK, Akbar dan beberapa pimpinan DPD tingkat II juga mengadakan pertemua dan menghasilkan keputusan untuk mencalonkan Akbar sebagai cawapres bagi SBY.
Jadi melihat hal yang berkembang belakangan ini, menurut saya golkar sebaiknya bersikap realistis melihat kurang solidnya jajaran mereka di dalam terutama setelah terpecahnya suara dalam mendukung JK untuk menjadi capres. Mereka hendaknya sadar bahwa roda itu berputar dan tidak selamanya kita harus ada di atas. Sekarang ini golkar berada di persimpangan, karena suara untuk mendukung JK tampaknya belum bulat dan masih ada kemungkinan dianulir dalam rakornas yang akan diadakan beberapa hari kedepan. Namun menurut saya apapun keputusan yang diambil tetap bagaikan buah simalakama, dimakan harga diri terbuang tidak dimakan maju dengan capres sendiri dengan kemungkinan besar tidak akan menang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar