Senin, Maret 23, 2009

Kampuang Nan Jauh Di Mato


BATUSANGKAR
kata-kata ini seperti sudah terpatri dalam jiwa saya. Mengapa demikian karena saya tidak akan ada didunia ini tanpa ada orang tua saya yang dilahirkan dan dibesarkan di suatu kampung yang sangat indah dan elok, yaitu Batusangkar. Kalau dibilang kampung sebenarnya tidaklah begitu tepat namun saya bangga dengan sebutan itu, karena hal ini menunjukkan asal usul saya. Kenapa saya bilang kurang pantas, hal ini karena Batusangkar merupakan kota kabupaten, yaitu kabupaten Tanah Datar. Batusangkar merupakan jenis kota kabupaten yang dibentuk oleh Belanda hal ini terlihat dengan penataan tempat-tempat strategis dan fasilitas umum di kota ini. Dengan penempatan rumah bupati yang dulunya merupakan pusat pemerintahan dengan lapangannya yang luas. Lalu ada pasar yang dibangun di pusat kota sebagai pusat aktivitas ekonomi dan juga hal ini diperjelas dengan adanya benteng atau rumah tahanan yang dibuat Belanda disini, dimana kini tempat itu berubah fungsi menjadi kantor polisi.
Batusangkar juga merupakan kota budaya, hal ini dikarenakan di sinilah kita bisa menjumpai istana Pagaruyung yang merupakan cikal bakal berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Selain Istana Pagaruyung, di kota ini juga banyak kita temui prasasti-prasasti peninggalan dari jalman megalitikum baik itu berupa prasasti tulisan maupun benda-benda besar lainnya.
Dulunya, Batusangkar adalah tempat yang sangat asri dan jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan, namun kini sungguh sangat berubah. Pasar yang dulunya tertata rapi kini penuh dengan tukang-tukang ojek yang berseliweran menawarkan jasanya. Hal ini tidak terlepas dengan semakin mudahnya orang untuk mendapatkan kredit motor sehingga kini hampir setiap rumah disana mempunyai satu motor di halaman rumahnya.
Saya pulang kampung sejak saya masih kecil, dan kebiasaan ini terhenti ketika saya menginjak usia remaja dan baru kembali lagi kesana pada saat saya berkuliah dan sekarang-sekarang ini. Sungguh saya merasa sedih melihat bagaimana kemajuan zaman telah menggerus kebudayaan mereka. Bendi telah diganti dengan ojek, keheningan dan kesunyian alam telah dirusah oleh deru suara motor dan mobil omprengan yang hilir mudik mengangkut penumpang.
Ingin rasanya saya kembali ke zaman dimana kampung saya masih asri dan setiap orang yang bertemu di jalan saling bertegur sapa. Hawa yang masih sejuk dan semilir angin yang berasal dari gunung Bongsu sungguh melegakan hati ini. Namun kini ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar